Suara Perlawanan Ibu Pertiwi: Review Film Dokumenter "Our Mothers' Land" (2020)

Dalam dunia yang terus berubah dengan cepat, seringkali kita lupa bahwa perjuangan untuk mempertahankan tanah dan lingkungan masih terus berlangsung di berbagai pelosok Indonesia. Film dokumenter "Our Mother's Land" yang ditayangkan pada tahun 2020 karya sutradara Leo Plunkett hadir sebagai pengingat kuat tentang keberanian para perempuan Indonesia yang berdiri di garis depan melawan kerusakan lingkungan. Film yang diproduksi oleh The Gecko Project dan Mongabay ini bukan sekadar dokumenter biasa, ini adalah testimoni tentang heroisme yang datang dalam bentuk yang tak pernah kita bayangkan.

Perjalanan Jurnalisme yang Menggugah

Dalam durasi 55 menit, film ini mengikuti perjalanan jurnalis Febriana Firdaus yang berkeliling ke berbagai desa di Indonesia untuk menemui para perempuan yang telah bangkit memimpin gerakan sosial. Sejak awal, kita disambut pesan yang kuat: "They were told women couldn't lead. They didn't listen." Kalimat pembuka ini langsung menggambarkan semangat perlawanan yang akan kita saksikan sepanjang film.

Film ini memperkenalkan empat pejuang lingkungan perempuan yang memberikan makna atas perlawanannya untuk mempertahankan tanah dan kelestarian lingkungan dengan strategi unik dan kolektif.

Yu Sukinah memimpin perlawanan terhadap pembangunan pabrik semen di Kendeng. Bersama kelompok "Kartinis of Kendeng", ia melakukan aksi dramatis menyemen kaki di depan Istana Merdeka pada 2016. "Tanah ini bukan hanya tempat kita hidup, tapi tempat nenek moyang kita dimakamkan. Jika mereka mengambil tanah ini, mereka mengambil jiwa kami," ujarnya dengan tegas.


Yu Sukinah, Kartinis of Kendeng



Warga Kendeng, laki-laki dan perempuan sebanyak 11 orang menyemen kaki di depan Istana Negara Jakarta, protes PT Semen Indonesia di Rembang. Foto: Lusia Arumingtyas/Mongabay Indonesia

Aksi damai yang dilakukan oleh para Kartini Kendeng ini memakan korban jiwa. Yu Patmi, salah satu Kartini Kendeng, meninggal dunia karena serangan jantung setelah aksi menyemen kaki di depan Istana Negara.

Kematian Yu Patmi tak memudarkan semangat perlawanan mereka, justru semakin memperkuat perjuangan tersebut. Para perempuan ini pun menduduki jalan menuju perusahaan selama berhari-hari, meski akhirnya, aksi damai yang menjadi pendekatan para perempuan Kendeng untuk melawan tersebut tak disambut baik oleh aparat. Mereka justru mendapatkan usiran dengan kekerasan oleh aparat yang menjadi pelindung investor.

Mama Aleta Baun dari Nusa Tenggara Timur berjuang melindungi desanya dari perusahaan tambang marmer. Ia menggerakkan ratusan warga untuk menduduki tempat-tempat penambangan sambil menenun. Prinsipnya kuat: manusia hanya boleh menjual apa yang dihasilkannya sendiri karena bumi sudah cukup memberi apa yang manusia butuhkan.


Mama Aleta Baun, anak kepala suku di Nusa Tenggara Timur
(Sumber: Konde.Co)

Eva Bande, aktivis asal Sulawesi Tengah yang sempat dipenjara selama 4 tahun karena mengorganisir para petani melawan elite lokal dan korporat kelapa sawit. "Saya tidak pernah bermimpi menjadi aktivis, tapi ketika mereka datang dengan bulldozer untuk menghancurkan hutan tempat kami mencari nafkah, apa pilihan kami selain berdiri dan melawan?" ungkapnya.


Eva Bande, aktivis lingkungan asal Sulawesi Tengah
(Sumber: Konde.Co)

Farwiza Farhan dari Aceh yang mendedikasikan dirinya untuk kelestarian hutan dan kawasan Leuser, menunjukkan bagaimana perjuangan lingkungan membutuhkan dedikasi jangka panjang.


Farwiza Farhan, aktivis lingkungan hutan dan kawasan Leuser, Aceh
(Sumber: Images.app.goo)

Yang menarik dari pendekatan film ini adalah penggunaan perspektif jurnalistik yang membuat penonton seolah-olah ikut bepergian dan menyaksikan langsung kondisi di lapangan. Firdaus tidak hanya berperan sebagai reporter, tetapi juga sebagai jembatan yang menghubungkan cerita-cerita lokal dengan isu global tentang perlindungan lingkungan.

Dialog-dialog dalam film ini bukan sekadar wawancara biasa, tetapi testimoni yang penuh emosi dan kekuatan. Febriana Firdaus, sebagai jurnalis yang memandu perjalanan ini, seringkali terdiam mendengar cerita-cerita yang disampaikan para aktivis.

Yang membuat film ini istimewa adalah penggambaran gerakan perempuan sebagai manifestasi ekofeminisme—konsep yang menekankan keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan. Film ini menunjukkan bahwa ketika terjadi kerusakan lingkungan, perempuanlah yang paling pertama terdampak karena peran mereka dalam pengelolaan sumber daya keluarga.

"Mereka bilang pembangunan ini untuk kemajuan. Tapi kemajuan untuk siapa? Anak-anak kami tidak bisa lagi bermain di sungai karena airnya sudah tercemar. Apa ini yang mereka sebut kemajuan?" tanya Patmi dalam salah satu scene yang menyentuh.

Momen-momen seperti ini membuat penonton merasakan langsung perjuangan dan keputusasaan para perempuan yang terpaksa menjadi garda depan dalam melindungi lingkungan mereka. Dialog-dialog autentik ini tidak terasa dibuat-buat, melainkan murni dari hati para pejuang lingkungan.

Film ini dipenuhi dengan gambar-gambar yang kontras dan powerful:

  • Adegan pembuka: Hamparan sawah hijau yang indah kontras dengan suara mesin-mesin berat yang menghancurkan hutan
  • Momen aksi semen kaki: Visual yang sangat kuat ketika para "Kartinis of Kendeng" benar-benar menyemen kaki mereka di depan istana, menunjukkan tekad yang luar biasa
  • Portrait wajah-wajah pejuang: Close-up wajah para perempuan yang menunjukkan kelelahan, kekhawatiran, namun juga keteguhan hati

Penggunaan drone shots untuk memperlihatkan kerusakan lingkungan dari udara memberikan perspektif yang mengerikan tentang skala kerusakan yang terjadi. Sementara itu, pengambilan gambar handheld saat wawancara memberikan intimasi yang membuat penonton seolah-olah duduk langsung bersama para aktivis.

Narasi film ini terstruktur dengan baik, mengalir dari satu kisah ke kisah lainnya tanpa terasa terpotong-potong. Setiap profil perempuan yang ditampilkan memiliki keunikan tersendiri, namun diikat oleh benang merah yang sama: perjuangan untuk tanah air dan lingkungan hidup.

Film ini mengajarkan bahwa perjuangan lingkungan bukan hanya soal menanam pohon atau mengurangi sampah plastik—ini adalah perjuangan sistemik yang melibatkan keadilan sosial dan hak asasi manusia. "Our Mother's Land" memperlihatkan:

  1. Heroisme yang nyata: "Perjalanan ini mengajarkan saya bahwa heroisme tidak selalu datang dalam bentuk yang kita bayangkan. Kadang heroisme itu adalah seorang ibu yang berdiri di depan bulldozer untuk melindungi pohon tempat anaknya bermain," refleksi Febriana Firdaus.
  2. Kekuatan kolektif perempuan: Bagaimana mereka menggunakan strategi-strategi unik, dari aksi simbolis hingga mobilisasi massa.
  3. Kompleksitas konflik: Bukan narasi hitam-putih, tetapi menunjukkan bagaimana masyarakat berhadapan dengan kekuatan negara yang seringkali berpihak pada kepentingan bisnis.

Film yang diproduksi oleh The Gecko Project dan Mongabay ini tidak hanya sekadar dokumenter, tetapi juga alat advokasi yang kuat. Setelah tayang perdana di Ubud Writers & Readers Festival 2020, film ini meraih berbagai penghargaan, termasuk Spirit of Activism Award 2021 dari Wild & Scenic Film Festival.

Relevansi film ini sangat tinggi di tengah isu-isu lingkungan yang semakin mendesak. Deforestasi, pertambangan ilegal, dan pengambilalihan tanah adat masih menjadi masalah serius di Indonesia. Film ini memberikan wajah manusiawi pada statistik-statistik yang seringkali kita baca di media.

Mengapa Film Ini Wajib Ditonton?

Setelah menonton "Our Mothers' Land", Anda akan memahami mengapa film ini mendapat berbagai penghargaan internasional. Ini bukan sekadar dokumenter tentang lingkungan, tetapi potret nyata tentang keberanian manusia dalam menghadapi ketidakadilan sistemik.

Film ini akan membuat Anda:

  • Tersentuh oleh keberanian para perempuan yang rela mengorbankan kenyamanan hidup demi masa depan lingkungan
  • Marah melihat ketidakadilan yang dialami masyarakat adat
  • Terinspirasi oleh kekuatan kolektif dan solidaritas perempuan
  • Tersadar bahwa perjuangan lingkungan adalah perjuangan kita bersama

Kesimpulan

"Our Mothers' Land" adalah film dokumenter yang berhasil menggabungkan jurnalisme investigatif dengan storytelling yang kuat. Film ini tidak hanya menginformasikan, tetapi juga menginspirasi dan menggerakkan emosi penonton. Bagi siapa pun yang peduli dengan isu lingkungan dan keadilan sosial di Indonesia, film ini wajib ditonton.

Dengan durasi yang cukup compact dan narasi yang mudah diikuti, film ini cocok untuk berbagai kalangan penonton. Lebih dari sekadar dokumenter, ini adalah testimoni tentang keberanian, ketahanan, dan harapan para perempuan Indonesia yang tidak pernah menyerah dalam memperjuangkan tanah air mereka.


"Kami tidak melawan pembangunan. Kami melawan kehancuran yang mengatasnamakan pembangunan." — Sukinah, Kartini Kendeng

"Ibu bumi wis maringi, Ibu bumi dilarani, Ibu bumi kang ngadili." — Sukinah, Kartini Kendeng

"Dokumenter ini bukan hanya tentang perjuangan perempuan Indonesia, tapi tentang masa depan planet kita semua." — Febriana Firdaus, Jurnalis


Film "Our Mothers' Land" tersedia untuk ditonton secara gratis di kanal YouTube The Gecko Project dan di kana Youtube Mongabay Indonesia. Saksikan sendiri bagaimana keberanian empat perempuan ini mengubah wajah aktivisme lingkungan di Indonesia, dan rasakan sendiri kekuatan cerita mereka yang akan terus bergema lama setelah film berakhir.

Komentar

Postingan Populer